Nazar berarti mewajibkan pada diri sendiri suatu perkara yang sebenarnya tidak wajib. Penjelasan nazar secara detail dapat ditelusuri dalam artikel sederhana berikut ini.
Dalil yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ
يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernazar,
beliau bersabda: ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar
hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ
قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ
بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ
يُخْرِجَ
“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan.
Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan
oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut mengeluarkan harta
yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa nazar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang memakruhkan bernazar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka nazar tersebut tetap wajib ditunaikan.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nazar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada
badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)Allah Ta'ala juga berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
"Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Al Baqarah: 270)Allah Ta'ala memuji orang-orang yang menunaikan nazarnya,
إِنَّ
الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا
يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ
بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas
(berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air
(dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka
dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan
takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah
nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah,
maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Macam Nazar dan Hukumnya
Nazar dilihat dari hal yang dinazari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:
Pertama, nazar taat.
Seperti seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernazar untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nazar karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.
Hukum penunaian nazar taat
Hukum penunaiannya adalah wajib, baik nazar tersebut nazar mu’allaq atau nazar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)Dalil lainnya, dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
أَنَّ عُمَرَ - رضى الله
عنه - نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ - قَالَ أُرَاهُ قَالَ - لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -
صلى الله عليه وسلم - « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »
“Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah
bernazar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu
malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
padanya, ‘Tunaikanlah nazarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)ika nazar tidak mampu ditunaikan
Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika nazar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nazar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah adalah:
- Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
- Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
- Memerdekakan satu orang budak
Kedua, nazar yang bukan bentuk taat.
Nazar jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) nazar mubah, (2) nazar maksiat.
(1) Nazar mubah
Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nazar seperti ini bukanlah nazar taat, namun nazar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.
(2) Nazar maksiat
Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.” Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,
النذر نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين
“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka
wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-,
maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan
kafaroh sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479)Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
No comments:
Post a Comment